Search

Breaking News

Pilkada 2024, Pakar Komunikasi Stikosa AWS Ingatkan Potensi Hoaks Berbasis AI

Cybernewsindonesia.com | Surabaya - Hoaks masih terus bermunculan. Mulai dari kabar give away dari Raffi Ahmad di Facebook, proses mematikan sapi dengan cara ditembak yang disinyalir terjadi di RPH Surabaya, hingga info Gibran Rakabuming Raka yang dikabarkan mundur dan diganti Anies Baswedan. Rangkaian catatan ini, kata Riesta Ayu Oktarina, pemerhati media dari Stikosa AWS, jadi catatan suram dunia digital apalagi menjelang Pilkada 2024.

"Catatan kami, sebaran ini kuat di media sosial. Sementara banyak pengguna internet saat ini lebih suka mencari informasi di media sosial, bukan media pemberitaan," kata Riesta yang juga tercatat sebagai dosen komunikasi di Stikosa AWS ini, Kamis (10/10/2024). 

Langkah keliru, karena mencari informasi yang tidak terverifikasi, kerap diikuti tindak sebar ulang karena referensi pengguna yang terbatas. 

"Dulu ada kampanye hati-hati menyebar informasi di media sosial. Tapi kebiasaan re-share itu masih kuat. Akibatnya info hoaks juga tersebar cepat," katanya.

Diakui, media sosial memang memungkinkan informasi menyebar dengan sangat cepat. Platform seperti Facebook, Instgram, X, Tiktok dan WhatsApp memiliki fitur berbagi yang memudahkan pengguna menyebarkan informasi tanpa verifikasi, sehingga hoaks dapat tersebar dalam hitungan detik ke banyak orang. Di sisi lain, pengguna media sosial tak selalu memiliki literasi digital yang baik.

"Banyak pengguna media sosial masih kurang memahami bagaimana memverifikasi kebenaran informasi. Mereka cenderung mempercayai dan membagikan informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka tanpa mengecek sumber atau kredibilitas informasi tersebut," jelas Riesta.

Kondisi ini, lanjut dia, diperburuk dengan algoritma platform media sosial sering kali memperkuat informasi yang mendapatkan banyak interaksi, tanpa mempertimbangkan apakah informasi tersebut benar atau salah. Hal ini menyebabkan hoaks yang bersifat sensasional atau memicu emosi lebih mudah viral dibandingkan berita yang benar dan netral.

Lebih lanjut, Kaprodi Ilmu Komunikasi Stikosa AWS ini juga menggaris bawahi aspek emosional manusia. Katanya, informasi yang menimbulkan emosi kuat, seperti ketakutan, kemarahan, atau harapan, lebih mungkin untuk dibagikan. 

"Hoaks sering kali dirancang untuk memanfaatkan emosi ini, sehingga orang terpicu untuk menyebarkannya tanpa berpikir kritis terlebih dahulu," kata dia.

Dalam konteks makro, hoaks akan mendapat ruang hebat saat momen politik, termasuk Pemilu 2024 lalu dan Pilkada 2024 mendatang. 

"Hoaks sering kali dimanfaatkan sebagai alat untuk memperkuat polarisasi politik atau sosial. Di tengah perpecahan politik yang kuat, orang cenderung percaya pada informasi yang mendukung pandangan politik atau ideologi mereka, terlepas dari kebenarannya," terang Riesta.

*Penggunaan AI dan Literasi Digital*

Meskipun beberapa platform telah menerapkan langkah-langkah untuk memerangi hoaks, Riesta melihat masih banyak informasi palsu yang lolos dari pengawasan. Upaya moderasi belum cukup kuat untuk menangkal banjir hoaks yang beredar setiap hari.

Banyak pihak yang menyebarkan hoaks karena ada insentif ekonomi (misalnya untuk mendapatkan klik atau iklan) atau politik (untuk memanipulasi opini publik). Dengan menyebarkan informasi palsu, mereka bisa mendapatkan keuntungan finansial atau politik.

"Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, hoaks memiliki lingkungan yang subur untuk berkembang di media sosial. Tantangan terbesar adalah bagaimana meningkatkan literasi digital masyarakat, memperkuat moderasi platform, serta mendorong budaya verifikasi informasi sebelum membagikannya," jelas Riesta lagi.

Terkait penggunaan AI dalam konteks hoaks, Riesta menyampaikan, produknya sudah semakin banyak. Penggunaan kecerdasan buatan untuk membuat hoaks, terutama dalam bentuk video, audio, dan gambar, menjadi semakin umum dan canggih. 

Dari pantauan yang dilakukan, penggunaan itu terjadi dalam konteks deepfake, yaitu teknologi yang menggunakan AI dan pembelajaran mesin untuk menciptakan video atau audio yang sangat realistis dengan menirukan wajah atau suara seseorang. 

"Dengan menggunakan algoritma, seseorang dapat mengganti wajah atau suara dalam video asli dengan yang lain, sehingga tampak seolah-olah orang tersebut melakukan atau mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah mereka lakukan atau katakan," ingatnya.

Kedua, pembuatan suara sintetis. Riesta melihat, produksi konten ini memanfaatkan teknologi Text-to-Speech (TTS) yang dapat menghasilkan suara manusia yang sangat alami dengan meniru nada, intonasi, dan emosi. 

AI dapat dilatih untuk meniru suara individu tertentu dengan cukup akurat, yang memungkinkan pembuat hoaks untuk menghasilkan rekaman suara yang seolah-olah berasal dari orang terkenal atau pejabat publik.

Dengan mengumpulkan data suara dari rekaman yang ada, AI dapat menganalisis dan menciptakan pola suara yang mirip dengan suara target, sehingga memungkinkan pembuatan audio yang sangat meyakinkan.

"Ketiga adalah manipulasi gambar. Teknologi generatif seperti DALL-E atau Stable Diffusion dapat digunakan untuk menciptakan gambar yang sepenuhnya baru atau memanipulasi gambar yang sudah ada. Ini dapat mencakup pembuatan gambar palsu dari tokoh publik dalam situasi yang merugikan atau menyesatkan," papar Riesta.

Saat teknologi AI berkembang pesat, deteksi hoaks berbasis AI menjadi semakin sulit. Meskipun ada alat yang dirancang untuk mendeteksi deepfake dan konten palsu lainnya, teknologi juga terus berkembang, sehingga menciptakan tantangan bagi pakar keamanan dan media untuk mengidentifikasi konten yang sebenarnya.

"Untuk itu, kita butuh niat baik untuk mencegah sebaran dan produksi hoaks. Edukasi untuk masyarakat, etika, dan regulasi, mesti di satu suarakan. Karena ini problem serius! Penting bagi platform teknologi, pemerintah, dan masyarakat untuk bekerja sama dalam mengatasi penyebaran hoaks yang dihasilkan oleh AI," tegasnya. 

Sebagai akademisi, Riesta kemudian mengingatkan agar setiap elemen potensial mau melakukan upaya bersama. Baik lembaga pendidikan, lembaga media massa, bahkan individu.

"Setiap lembaga harus mengintegrasikan kurikulum literasi digital yang kuat. Literasi ini harus mencakup kemampuan untuk membedakan informasi yang benar dari yang salah, bagaimana teknologi AI bekerja, serta cara mendeteksi konten palsu. Dari situ kita menghadang potensi hoaks," tandasnya. 

(Redho)
©Copyright 2023 -cybernewsindonesia.id